Habis
gelap terbitlah terang, banyak yang berharap tak pernah ada kegelapan di dunia
ini. Andai hari adalah pagi, tidak ada senja dan malam yang berlarut-larut
dalam kesunyian. Tidak ada kesepian yang malam torehkan pada kehidupan manusia.
Beberapa orang membenci malam seperti mereka benci pernah dilahirkan. Ada
kalanya pada sebagian manusia kegalapanlah yang memberi kekuatan untuk tetap
bertahan akan kerasnya kehidupan. Mereka adalah orang-orang yang tau caranya
berterimakasih kepada Tuhan.
Setiap hari muncul bibit-bibit
kehidupan baru, bibit-bibit itu tumbuh dengan cepat. Ada kehidupan, sebuah
kelahiran yang patut disyukuri seharusnya. Sebab manusia dicipakan bukan cuma seonggok
daging yang memiliki nyawa, namun manusia juga memiliki akal pikiran juga mimpi
yang patut dibanggakan, dengan itu manusia patas berjejalan memenuhi bumi ini
untuk berjalan, berlari dan walaupun ada juga yang hanya diam. Untuk sebuah
akhir yang tidak bisa ditebak mereka mempertaruhkan segalanya.
Orang-orang yang tau caranya
berterimakasih kepada Tuhan mereka tetap membodohkan diri, tidak pernah
mendewasa, mereka selalu percaya seperti bayi selalu percaya pada apa yang ia
dengar. Mereka percaya mereka punya kuasa atas masa depan mereka. Mereka berlari,
berlari lebih kencang dari orang lain, berharap nasib baik segera menyambut
tangan mereka, berharap usaha mereka mampu meluluhkan hati Yang Maha Membuat
Takdir. Seperti anak kecil yang bermimpi, seperti orang yang terlelap sedang
pikirannya berkelana di alam bawah sadar. Orang-orang itu terus bermimpi, untuk
mimpi dan karena mimpi adalah tujuan hidup mereka. Kita menyebut mereka Sang
Pemimpi, kelak Sang Pemimpi itu akan menjelama sebagai Sang Pemimpin.
Sore itu dihabiskannya senja
dipematang sawah. Memandangi matahari yang tenggelam adalah ritual wajibnya, sebab
salah satu mimpi terbesarnya adalah pergi kemana matahari bersembunyi. Dia
tidak suka malam, malam membuatnya takut terkadang. Malam adalah gelap dan
gelap adalah ketakutan.
Angin
sore mengibas rambutnya yang terurai sepundak, mengacak-acak poninya yang
memang tak pernah rapi. Matanya selalu waspada, ditengah belahan alisnya selalu
mengkerut, tanda bahwa ia adalah seorang pemikir. Apa yang ia pikirkan? Sesuatu
yang tidak bisa membantu masalahnya sendiri, sebab ia selalu memikirkan orang
lain, sok peduli dengan masa depan mereka padahal tak satupun yang mampu anak
perempuan ini perbuat untuk sesamanya.
Senja
semakin larut menjadi malam, angin pun semakin dingin menusuk sampai tulang
rusuk layaknya ribuan jarum yang menyerang, itulah angin malam. Kali ini ia tak
memperdulikan angin yang berangas menyerang tubuhnya, senja ini ia ingin
mengenal malam dan kegelapan. Ia ingin mengenal bintang yang legendanya sangat menakjubkan
juga mengenal legenda sang rembulan yang mempesona. Ia membiarkan jaketnya
tersampir dipundak begitu saja, tak jua ia kenakan lalu merapatkan kancignya. Seperti
yang sudah dikatakan, karena ia ingin mengenal malam.
Sepatah
demi sepatah memori memenuhi otaknya, menyeret bayangan masa lalu kedalam
benaknya kembali. Ia ingat dengan pengalamannya pergi ke Jakarta beberapa tahun
silam, dimana ia melihat puluhan anak kecil merangas dibakar terik matahari.
Berdiri membawa kencrengan sambil melantunkan lagu-lagu yang terdengar menyayat-nyayat
hatinya. Betapa banyak ketidak adilan di dunia ini bagi mereka. Beralas kaki
sandal jepit sisihan dan rambut
gimbal tak karuan. Dimana kehidupan di dunia mendahului siksa neraka. Mungkin
lebih baik adalah tidak pernah ada, tidak pernah dilahirkan lebih tepatnya.
Di ambilnya MP4 dari
saku jeans, lalu diputarnya lagu Potret Hitam Putih karya Ebiet …
Coba kalian dengar lagi satu cerita
dariku
Adalah seseorang bersiul riuh tak
menentu
Ia hanya ingin membuang deburan
resah di hati
Ia hanya ingin melepas dendam panas
membakar sepi
Setelah lepas SMA terpaksa jadi
anak jalanan
Digantungkan rindu bangku-bangku
pada malam hening dan bisu
Dibayangkan kawan sebaya telah pada
sarjana
Sedang baginya bertumpuk beban, tak
seranta dirampungkan
Hatinya pilu mendengar lagu itu,
mengisahkan tentang seorang anak yang harus lulus SMA di jaman sekarang ini.
Betapa ia ingat tentang pengorbanan kakak pertamanya yang harus pergi ke luar
negeri menjadi TKI disana, meninggalkan keluarga yang dicintai, menangis rindu
setiap malam pada keluarga, belum lagi kerinduannya pada ilmu pengetahuan.
Lalu
tanpa disadarinya jatuhlah air matanya, mengenang kakaknya. Kalau bukan karena
kakaknya sekarang ia juga sudah menyusul ke luar negeri, atau mungkin menikah
karena desakan orang tuanya yang kolot. Tapi kakaknya menyekolahkannya,
mendukung impiannya untuk melanjutkan study, kakaknya seorang lulusan SMA yang
berakhir menjadi babu disebuah rumah yang jauh dari kasih sayang, mengorbankan
masa mudanya untuk menyekolahkan adiknya. Baginya, kalau surga ada di telapak kaki
ibunya, maka pintu surga itu ada dibawah telapak kaki kakaknya.
Dia
selalu terkesan dengan puisi-puisi kakaknya, indah lebih indah dari puisi
siapapun. Dia menggumi kakaknya, akan semua perjuangannya yang ingin
menyekolahkan dirinya, ia kagm akan senyum kakaknya yang mampu membungkus
kepiluan hatinya dengan senyuman yang dipaksa. Kakak adalah yang terbaik dan orang
yang paling baik pada dirinya.
Sungguh
banyak orang-orang yang cemerlang yang harus berakhir tragis di dunia yang ia
kenal ini. Teman SDnya yang minggu lalu sudah menikah, padahal umurnya masih 16
tahun. Teman SDnya itu menikah setelah menyelesaikan pendidikan SMP. Kali ini
karena sama, karena orang tuanya yang kolot memaksa anak perempuannya menikah
muda, karena alasan tidak ada biaya untuk memberikannya kehidupan yang
semestinya orang tua berikan pada anaknya. Orang tuanya menyuruh saja seorang
laki-laki yang umurnya 10 tahun lebih tua darinya menikahi anak itu.
Dia
benci dengan orang tua, semua orang tua yang bisanya hanya membuat anak tapi
tak pecus menghidupi anaknya, tak mampu memberikan kesejahterahan. Punya anak
banyak akan tetapi tak satupun yang bisa jadi sarjana. Kalau ada anak yang
durhaka kepada orang tua maka banyak juga orang tua yang mendurhakai anak-anaknya.
“Huuuffft….”,
dihembuskannya nafas dengan berat.
“Siapa yang harus
disahkan atas apa yang sedang terjadi”, pikirnya.
“Mungkin Tuhan, para
orang tua, atau pemerintah?”
Lanjutnya,
“Bukan, bukan Tuhan, Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan, dengan akal
dan pikiran, semua manusia punya pilihan dan pilihan itu mereka sendiri yang
menentukan.”
“Lalu apakah orang tua
yang beranak pinak tanpa peduli masa depan anaknya? Bukan, juga, bukan. Tidak
pernah ada yang mau mengalami penderitaan saat melahirkan, membesarkan bayi,
selain seorang ibu dan seorang ayah yang besar cinta kasihnya kepada darah
daging mereka. Itu cukup menjadi sebuah pengorbanan yang patut dihargai semua
anak didunia ini.”
“Kalau begitu…”,
bisiknya.
“Apakah pemerintah yang
patut dipersalahkan? Digaji sangat mahal sedang sedikit sekali memberi
perubahan. Kesana kesini pakai mobil plat merah, loe piker itu mobil siapa??? Lalu, belum lagi ditambah perintah
busuk yang korupsi, tidak peduli penderitaan sesamanya, ngakunya berpendidikan
lulusan universitas jempolan, tapi tidak punya hati dan buta undang-undang. Ya,
memang semua ini, putus sekolah dan kekurangan yang masih terjadi dijaman
modern ini adalah salah pemerintah busuk itu.”
“Tapi…” katanya
kemudian.
“Seorang pemerintah
mempunyai atasan, dan atasannya mempunyai atasan. Atasan dari semua atasan
disebuah negara adalah Presiden.”
“Presiden, presiden…
kalau saja presiden lebih ketat membuat undang-undang, hokum pancung untuk
seorang koruptor, mungkin semuanya lebih sedikit dipermasalahkan. Buktinya
penjara untuk seorang hukuman koruptor bisa ditebus dengan uang. Kenapa?”
“Sudahlah”, gumamnya lirih pada dirinya
sendiri.
“Andai
aku jadi presiden aku akan menghukum pancung semua koruptor di negara ini,
seperti hukuman yang diberikan bagi seorang teroris. Memberikan 50% pendapatan
negara untuk kepentingan pendidikan, agar semua anak bisa bersolah, bisa jadi
sarjana. Tidak ada lagi putus sekolah karena biaya, bukan cuma anak berprestasi
saja yang disekolahkan negara, tapi semua anak di negara ini. Semua anak berhak
atas pendidikan, semua anak. Siapa sih yang ingin jadi orang bodoh? Tidak ada!
Jadi tidak ada alasan membedakan anak pandai dengan yang kurang pandai, tidak
ada yang berhak membeda-bedakan hak masing-masing anatara mereka”
“Andai
saya jadi presiden…”
http://festiksinjai.blogspot.com/
http://komunitasblogersinjai.blogspot.com/